BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Masalah Pendidikan secara Makro dan Mikro
Masalah
Pendidika secara makro yaitu berhubungan dengan kondisi masyarakat dan
lingkungan yang secara luas mempengaruhi proses pembelajaran dalam pendidikan.
Sedangkan masalah pada tataran mikro berhubungan masalah-masalah yang dihadapi
oleh guru dalam melaksanakan pembelajaran di dalam kelas.
B. Masalah
Pendidikan secara Makro yang Ada di Indonesia
Ø Masalah-masalah Kurikulum di Indonesia
1. Kurikulum Indonesia
Terlalu Kompleks
Jika dibandingkan
dengan kurikulum di negara maju, kurikulum yang dijalankan di Indonesia terlalu
kompleks. Hal ini akan berakibat bagi guru dan siswa. Siswa akan terbebani
dengan segudang materi yang harus dikuasainya. Ssiswa harus berusaha keras
untuk memahami dan mengejar materi yang sudah ditargetkan. Hal ini akan
mengakibatkan siswa tidak akan memahami seluruh materi yang diajarkan. Siswa
akan lebih memilih untuk mempelajari materi dan hanya memahami sepintas tentang
materi tersebut. Dampaknya, pengetahuan siswa akan sangat terbatas dan siswa
kurang mengeluarkan potensinya, daya saing siswa akan berkurang.
Selain berdampak pada
siswa, guru juga akan mendapat dampaknya. Tugas guru akan semakin menumpuk dan
kurang maksimal dalam memberikan pengajaran. Guru akan terbebani dengan
pencapaian target materi yang terlalu banyak, sekalipun masih banyak siswa yang
mengalami kesulitan, guru harus tetap melanjutkan materi. Hal ini tidak sesuai
dengan peran guru. Kurikulum di Indonesia yang cenderung fokus pada kemampuan
intelektual membuat bakat atau soft skill siswa tidak berkembang. Padahal,
sebenarnya bakat siswa bermacam-macam dan tidak bisa dipaksa harus berada di
suatu bidang saja. Akibat soft skill yang kurang tergali, saat ini tawuran
serta bentrok makin marak.
Solusi:
1. Mengubah paradigma dari pengajaran yang berbasis sistetik-materialistik
menjadi religius. Solusi ini menunjukan akan berkurangnya kemerosotan moral.
Dimana tidak akan ada lagi siswa cerdas yang tidak bermoral.
2. Mengubah konsep awal paradigma kurikulum menjadi alur yang benar untuk
mencapai suatu tujuan yang sebenarnya.
3. Melakukan pemerataan pendidikan melalui pemerataan sarana dan prasarana ke
sekolah terpencil, sehingga tidak akan ada lagi siswa di daerah terpencil yang
terbelakang pendidikan.
4. Menjalankan kurikulum dengan sebaik
mungkin.
5. Mengadakan studi kasus penelitan di setiap daerah Nusantara, agar dapat
melahirkan pengalaman dan dokumentasi yang kuat dan efektif dalam pengembangan
kurikulum.
2. Berganti-gantinya Kurikulum
Kurikulum di indonesia
sering berganti tanpa memikirkan dengan serius apakah siswa dapat menerina dan
beradaptasi dengan sistem atau kurikulum yang baru tersebut. Kurikulum di
indonesia sudah berganti sekitar enam kali mulai dari kurikulum tahun 1984 yang
kemudian di ganti dengan kurikulum 1975 dan di perbaharui lagi dengan kurikulum
1984, kurikulum 2004 atau sering di
sebut dengan KTSP dan sekarang kurikulum 2013 .
Tujuan pemerintah mengganti
kurikulum dalam pendidikan tidak lain adalah karena ingin memperbaiki mutu
pendidikan supaya bisa berkembang lebih baik dari sebelumnya. Pada kenyataannya
tidak ada perubahan mutu yang di berikan oleh pendidikan di indonesia bahkan
mutu pendidikan selama kurang lebih dalam lima tahun ini memberikan hasil yang
mengecewakan, justru perubahan kurikulum pendidikan yang begitu cepat
menimbulkan masalah masalah baru dalam dunia pendidikan, seperti halnya banyak
prestasi siswa ang menurun hal ini mungkin di sebabkan karna siswa tidak dapat
menyesuaikan diri dengan sistem pembelajaran pada kurikulum yang baru. Tetapi pemerintah
tidak memikirkan masalah yang demikian, pemerintah mungkin lebih berfikir
dampak positif yang hanya memudahkan sebagian pihak saja. Sebenarnya begitu
banyak terhadap mutu pendidikan tidak hanya karna pergantian kurikulum, tapi
sejatinya kurikulum merupakan dasar dari jalannya program pendidikan.
Dampak dari kurikulum pendidikan yang berganti-ganti
bukan hanya memberikan dampak negatif terhadap siswa yang semakin merendah
prestasi nya sebetulnya perubahan ini juga dapat berdampak pada sekolah yaitu
pada tujuan atau visi sebuah sekolah juga akan ikut ikutan kacau. Contoh saja
bila sebuah sekolah memiliki satu tujuan atau sati visi tentu sekolah tersebut
akan berusaha untuk mencapai tujuan nya, dan untuk memenuhi sebuah visi tentu
membutuhkan waktu yang tidak singkat, ketika mereka telah memfokuskan diri pada
visi yang telah di susun secara tiba tiba kurikulum di ganti tentu sekolah
tersebut harus mengganti tujuan yang ingin di capai. Mungkin pemerintah merasa
bahwa perubahan kurikulum dapat memberi perubahan yang lebih baik pada mutu
pendidikan, tapi nyata nya tidak demikian
Dalam menentukan
kurikulum dan membuat kurikulum baru supaya dapat di terima oleh siswa
bagaimana seharusnya langkah yang harus di lakukan oleh pemerintah? Seharusnya
pemerintah menggunakan konsep teori AGIL dalam sebuah perencanaan kurikulum
baru.
- · Pertama A atau yang kita tahu adalah adaptasi. Yaitu bagaimana sistem dari kurikulum tersebut dapat beradaptasi dengan siswa untuk dapat beradaptasi sistem yang baru harus di sesuaikan dengan kondisi siswa pada umum nya bukan hanya memikirkan siswa yang bersikap positif atau dalam hal ini rajin untuk belajar tapi juga harus memperhatikan siswa yang masih belum bisa rajin yaitu dengan memikirkan cara bagaimana membuat siswa yang masih belum rajin tersebut menjadi rajin seperti dengan adanya fasilitas fasilitas yang mampu menarik perhatian siswa tersebut karna sejatinya tidak mungkin ada anak yang benar banar malas untuk melakukan hal apapun pasti dia memiliki satu hobi atau satu kesukaan yang dapat membuatnya untuk tidak malas. Jika di ras kurikulum tersebut dapat sesuai dan dapat di adaptasikan dengan keadaan siswa saat ini maka kurikulum tersebut dapat di terapkan oleh pemerintah dalam sebuah lembaga pendidikan dan tentu kemungkinan besar kurikulum yang dapat beradaptasi cepat dengan siswa akan di terima dan memberikan peningkatan mutu dalam pendidikan.
- · Konsep yang ke dua yaitu G yaitu Goal atau yang biasa kita kenal dengan tujuan. Dimana sebuah sistem dalam kurikulum pendidikan harus memiliki tujuan yang jelas dan memastikan bahwa tujuan tersebut dapat di capai bukan hanya anggan anggan serta tujuan harus sejalan dengan tujuan pendidikan pada dasarnya yaitu untuk memajukan mutu pendidikan dengan memperbaiki output atau siswa, untuk memperbaiki output tentu harus menyesuaikan dengan masing masing siswa tidak mungkin satu siswa dengan siswa yang lain memiliki kemampuan berfikir dan bekerja yang sama dalam hal ini untuk mecapai tujuan tersebut sistem harus mampu memfasilitasi masing masing kemampuan berfikir dari masing masing siswa misalkan saja ada siswa yang hanya dengan membaca dia mampu untuk bersaing bengan siswa lain maka sistem harus mau menyediakan fasilitas yang mendukung siswa tersebut untuk membaca adapula yang memiliki kemampuan di bidang olahraga dan seni maka sistempun harus mendukung fasilitas untuk siswa tersebut mengembangkan bakat nya, jadi dapat di ambil kesimpulan tidak hanya tujuan yang jelas. Tapi seberapa kemampuan pemerintah untuk mencapai tujuan dari kurikulum baru yang di buat nya maka pemerintah harusnya tidak sekadar merubah kurikulum tapi juga harus mampu mendanai untuk proses pencapaian tujuan dari kurikulum tersebut.
- · Kemudian yang ke tiga adalah I yaitu integrasi di mana sistem dari kurikulum yang baru harus mampu mengintegrasi aktor aktor dalam pendidikan yang meliputi guru, lembaga dan siswa dalam rangka proses untuk mencapai tujuan yang telah di tentukan.
- · Kemudia yang ke empat adalah L yaitu latensi. Bagaimana tujuan dalam sebuah pendidikan dapat menjaga nilai nilai dalam masyarakat dan tidak terselubung fungsi fungsi laten dalam lembaga.
Ø Masalah Kurang Meratanya Pendidikan
Belum meratanya pendidikan bagi warga Negara merupakan masalah yang belum
terselesaikan, terutama diluar pulau jawa. Pendidikan di Indonesia saat ini belum dapat memperbaiki kualitas hidup warga Negara yang pada umumnya berkemampuan sedang atau
kurang. Pendidikan mungkin baru dapat mengangkat mereka yang mempunyai
kemampuan menengah ke atas saja. Pendidikan nasional
diharapkan dapat menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya bagi seluruh warga
Negara Indonesia untuk memperoleh pendidikan.
Masalah pemerataan
pendidikan timbul apabila masih banyak warga Negara khususnya anak usia sekolah
yang tidak dapat di tampung dalam sistem atau lembaga pendidikan karena
kurangnya fasilita pendidikan yang tersedia. Pada masa awalnya, di tanah air
kita Undang-Undang No 4 tahun 1950 sebagai dasar-dasar pendidikan dan
pengajaran di sekolah. Pada bab XI pasal 17 berbunyi:
Tiap-tiap warga Negara
republik Indonesia mempunyai hak yang sama diterima menjadi murid suatu sekolah
jika syarat-syarat yang ditetapkan untuk pendidikan dan pengajaarn pada sekolah
itu dipenuhi.
Masalah pemerataan memperoleh pendidikan
dipandang penting sebab jika anak-anak usia sekolah memperoleh kesempatan
belajar pada SD, maka mereka memiliki bekal dasar berupa kemampuan membaca,
menulis, dan berhitung sehingga mereka dapat mengikuti perkembangan kemajauan
melalui berbagai media massa dan sumber belajar yang tersedia baik mereka itu
nantinya berperan sebagai produsen maupun konsumen. Dengan demikian mereka
tidak terbelakang dan menjadi penghambat pembangunan.
Oleh karena itu, dengan
melihat tujuan yang terkandung di dalam upaya pemerataan pendidikan tersebut
yaitu menyiapkan masyarakat untuk dapat berpatisipasi dalam pembangunan, maka
setelah upaya pemerataan pendidikan terpenuhi, mulai diperhatikan juga upaya
pemerataan mutu pendidikan.
Usaha untuk meningkatkan pemerataan memperoleh pendidikan adalah melalui
desentralisasi. Desentralisasi di bidang pendidikan diharapkan dapat
meningkatkan partisipasi pemerintah daerah beserta masyarakatnya untuk berperan
serta dalam pendidikan.
Selain itu dapat
menggunakan Cara konvesional antara lain:
a)
Membangun gedung sekolah seperti SD inpres dan atau ruangan belajar.
b) Menggunakan gedung
sekolah untuk double shift (sistem bergantian pagi dan sore).
Sehubungan dengan itu
yang perlu digalakkan, untuk pendidikan dasar ialah membangkitkan kemauan
belajar bagi masyarakat yang kurang mampu agar mau menyekolahkan anaknya.
Cara Inovatif antara
lain:
a)
SD kecil pada daerah terpencil
b)
Sistem guru kunjung
c)
SMP terbuka
d)
Kejar paket A dan b
e)
Belajar jarak jauh, seperti di universitas terbuka.
Ø Masalah Rendahnya Mutu Pendidikan
Jika kita ingin
meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga berbicara tentang
standardisasi pengajaran yang kita ambil.
Dunia pendidikan terus
berubah. Kompetensi yang dibutuhkan oleh masyarakat terus-menertus berubah
apalagi di dalam dunia terbuka yaitu di dalam dunia modern dalam era
globalisasi. Kompetensi-kompetensi yang harus dimiliki oleh seseorang dalam
lembaga pendidikan haruslah memenuhi standar.
Peserta didik Indonesia
terkadang hanya memikirkan bagaiman agar mencapai standar pendidikan saja,
bukan bagaimana agar pendidikan yang diambil efektif dan dapat digunakan. Tidak
perduli bagaimana cara agar memperoleh hasil atau lebih spesifiknya nilai yang
diperoleh, yang terpenting adalah memenuhi nilai di atas standar saja.
Hal seperti di atas sangat
disayangkan karena berarti pendidikan seperti kehilangan makna saja karena
terlalu menuntun standar kompetensi. Hal itu jelas salah satu penyebab
rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
Contoh dalam kasus UAN
yang hampir selalu menjadi kontrofesi. Dengan adanya sistem evaluasi seperti
UAN sudah cukup baik, namun yang disayangkan adalah evaluasi pendidikan seperti
itu yang menentukan lulus tidaknya peserta didik mengikuti pendidikan, hanya
dilaksanakan sekali saja tanpa melihat proses yang dilalu peserta didik yang
telah menempuh proses pendidikan selama beberapa tahun. Selain hanya berlangsung
sekali, evaluasi seperti itu hanya mengevaluasi 3 bidang studi saja tanpa
mengevaluasi bidang studi lain yang telah didikuti oleh peserta didik. Tetapi
sekarang hal tersebut sudah diganti standar kelulusan diambil dari nilai rapot
dan UAN.
Solusinya:
·
penyempurnaan UU
pendidikan,
·
penyempurnaan
kurikulum,
·
pengembangan kemampuan
tenaga kependidikan,
·
penyempurnaan prasarana
belajar, dan sebagainya.
·
Seleksi yang lebih
rasional terhadap masukan mentah, khususnya untuk SLTA dan PT.
Ø
Masalah Efisiensi
Masalah penempatan
guru, khususnya guru bidang penempatan studi sering tidak sesuai penempatannya.
Banyak guru bidang studi lain ditempatkan yang bukan bidangnya, karena
terbatasnya tenaga pendidikan.
Masalah pengembangan
tenaga kependidikan di lapangan biasanya terlambat, khususnya pada saat
menyongsong hadirnya kurikulum baru. Setiap pembaruan kurikulum menuntut adanya
penyesuaian dari para pelaksana lapangan. Dapat dikatakan umumnya penanganan
pengembanagn tenaga pelaksana di lapangan sangat lambat. Padahal proses
pembekalan untuk dapat siap melaksanakan kurikulum baru sangat memakan waktu.
Akibatnya terjadi kesenjangan antara saat di rencanakan berlakunya kurikulum
dengan saat mulai dilaksanakan dan pendidikan berlangsung kurang efisien dan
efektif.
Ø Masalah Relevansi
Relevansi adalah masalah kesesuaian antara hasil
pendidikan dengan tuntutan lapangan kerja, kesesuaian antara sistem pendidikan
dan pembangunan nasional, serta antar kepentingan perseorangan, keluarga dan
masyarakat baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Melalui pendidikan
hendaknya dapat dihasilkan generasi yang terampil, cerdas, berpengetahuan luas
sehingga dapat berperan dalam menunjang pembangunan nasional di segala bidang.
Untuk memenuhi harapan
tersebut diperlukan keterpaduan, antara perencanaan, pelaksanaan dalam
pembangunan khususnya di bidang pendidikan, sebagai contoh pendidikan di
sekolah harus direncanakan berdasarkan kebutuhan nyata dalam gerak pembangunan
nasional serta memperhatikan ciri-ciri ketenagaan yang diperlukan sesuai dengan
keadaan lingkungan di wilayah tertentu.
Ø
Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di
Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme
yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU
No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai
hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan
penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja,
sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Kelayakan
mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Walaupun
guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan
tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai
cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas
pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang
rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
Solusinya dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih
tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru.
Ø
Rendahnya Kesejahteraan
Guru
Rendahnya kesejahteraan
guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Oleh
karena itu banyka guru yang melakukan pekerjaan sampingan setelah mengajar. Dengan
adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak
lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam
pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan
memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan
profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan
tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak
atas rumah dinas. Selain itu dengan adanya sartifikasi guru juga dapat
mensejahterakan guru dengan layak.
Ø
Mahalnya Biaya
Pendidikan
Mahalnya biaya
pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat
masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang
miskin tidak boleh sekolah.
Makin mahalnya biaya pendidikan
sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS
(Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai
sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Hasilnya, setelah Komite Sekolah
terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite
Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang
dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat
dengan Kepala Sekolah.
Dengan begitu, nantinya
sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan
pendidikan. Sekolah tentu saja akan memungut biaya setinggi-tingginya untuk
meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu
untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat dibedakan berdasarkan
status sosial, antara yang kaya dan miskin.
C. Masalah
Pendidikan secara mikro.
Ø Penggunaan Metode-metode yang Monoton
Metode yang monoton
seperti ceramah sering digunakan oleh guru yang sudah tua. Metode ini
menempatkan siswa sebagai objek ia hanya menerima informasi dari guru tersebut
sehingga siswa hanya pasif sebagai pendengar. Keaktivan siswa disini sangat
kurang dan hanya terjadi komunikasi satu arah yaitu antara guru dan siswa yang tidak
ada timbal balik.
Solusinya dengan
menggunakan model-model pembelajaran yang koopertif yang membantu siswa
memahami dan melakukan proses pembelajaran sendiri sehingga disini siswa
belajar aktiv. Guru sebagai motivator dan fasilitator.
Ø
Rendahnya Kualitas
Sarana Fisik
Sarana dan prasarana
yang kurang memadai masih banyak ditemukan disekolah desa maupun kota. Banyak
gedung yang rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku
perpustakaan tidak lengkap, laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi
informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak
memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki
laboratorium dan sebagainya. Hal tersebut menyulitkan guru dalam melakukan
pembelajaran. Ketidak tersedianya alat peraga juga menjadi masalah guru dalam
mencapai tujuan pembelajaran.
Sebaiknya pemerintah
memberikan bantuan yang cukup untuk memajukan pendidikan dan guru harus kreativ
dalam menciptakan media yang diperlukan dalam pembelajaran agar tujuan pembelajaran
yang hendak dicapai dapat terwujud dengan optimal.
Ø
Rendahnya Prestasi
Siswa
Dengan keadaan yang
demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru)
pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan.
Anak-anak Indonesia
ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit
sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini
mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan
ganda. Karena dalam pengajaran kurang adanya keterampilan proses yang
melibatkan siswa aktiv dalam kegiatan sehingga pembelajaran yang dilakukan
tidak bermakna. Dalam pembelajaran sering dilakukan satu arah siswa ditempatkan
sebagai subjek.
Solusi Rendahnya prestasi siswa, misalnya, dengan meningkatkan kualitas
dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana
pendidikan, dan menggunakan metode yang variatif yang menciptakan suasana
belajar yang bermakna.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Masalah pendidikan di
Indonesia sangat banyak. Dan masalah-masalh tersebut belum teratasi. Adapu
masalah pendidikan dibagi menjadi 2 yaitu secara makro dan mikro.
Adapun diantara masalah pendidikan secara makro
adalah:
1. Kurikulum Indonesia yang terlalu Kompleks.
2. Berganti-gantinya kurikulum.
3. Belum Meratanya pendidikan.
4. Rendahnya mutu pendidikan.
5. Rendahnya efisiensi
6. Rendahnya relevansi.
7. Rendahnya kualitas dan Kesejahteraan guru.
8. Mahalnya biaya pendidikan.
Sedangkan masalah pendidikan secara mikro menyangkut sarana prasarana,
metode yang monoton dan rendanya prestasi siswa.
Untuk mengatasi masalah
pendidikan sebaiknya pemerintah, masyarakat, swasta serta sekolah harus
berupaya memajukan pendidikan agar output yang dikeluarkan berkualitas dan
dapat memajukan bangsa Indonesia.
Thanks telah membantu
BalasHapusterimakasih
BalasHapussangat bermamfaat